Wednesday 11 September 2019

Aku Benci Pemakai Niqab

      Dari sekolah menengah lagi aku sering kelihatan mereka memakai Niqab,cadar atau Purdah. Kadang sampai menjengkelkan dan sangat benci dalam kehidupanku. 

Kenapa??

  Ya iyalah pakai Purdah,Niqab arab bagai tapi perangai nah macam separuh setan pun ada. Bila jumpa lelaki tergedik sana sini. Bila depan ustaz hensem,terserlah keayuan dalam kesopanan itu. 

Wah... Hebat sungguh mereka yang bertopengkan sehelai kain nipis ini.

SAYYIDAH NAFISAH AL-SHUGHRA Figur Ahlul Bait yang Abid & Berilmu


NAMA & NASAB
Seorang yang dikenal sebagai ahli-ibadah, zuhud, warak, bersungguh-sungguh, cerdas, berilmu dan punya banyak karamah ini ialah Sayyidah Nafisah, keturunan Rasulullah Saw. dari jalur Sidna Hasan -radiyallahu anhu-. Rantai nasabnya: Sayyidah Nafisah binti Hasan Al-Anwar bin Zaid Al-Ablaj bin Hasan bin Ali bin Abi Talib, suami Sayyidah Fatimah Al-Batul binti Rasul.

LAHIR & MASA PERTUMBUHAN
Sayyidah Nafisah lahir di Makkah pada tahun 145 H. saat tampuk kepemimpinan berada di tangan khalifah Abu Jakfar Abdillah yang dikenal dengan Al-Mansur Billah. Tahun kelahirannya selisih 51 tahun setelah lahirnya Imam Laits dan 5 tahun sebelum lahirnya Imam Syafii.

Sayyidah Nafisah tumbuh-besar di Madinah al-Munawwarah. Ia sudah dikenal gemar beribadah sejak kecil. Satu yang disebut di beberapa sumber-pustaka, beliau mulazamah (berusaha untuk selalu berada) di area Masjid Nabawi, juga Raudah.

KISAH PERTUNANGAN
Al-Muwaffaq bin Utsman (wafat 615 H) mencatat dalam Mursyid al-Zuwwar ila Qubur al-Abrar, menukil dari seorang ahli-nasab Al-Razi, bahwasanya saat Sayyidah Nafisah menginjak umur 16 tahun mulai banyak orang berdatangan hendak meminang. Siapa yang tak mau mendapat menantu atau istri yang sesalihah dan sebaik beliau?

Sayyid Hasan Al-Anwar -sang ayah- kerap menolaknya; hingga datang Ishaq Al-Mu’taman bin Jakfar Al-Sadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Muhammad bin Ali Zainil Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Talib. Pinangan beliaupun tidak pula dijawab oleh ayah Sayyidah Nafisah.

Bergegaslah Ishaq Al-Mu’taman menuju Raudah. Di sana ia berkata dengan penuh-harap, “Ya Rasulallah.. Saya melamar Nafisah putri Hasan ke ayahnya, tapi ia enggan menjawab. Saya melamarnya tak lain karena luhur-pekertinya, agamanya, dan ibadahnya.”

Malam itu juga, Sidi Hasan al-Anwar ayah Sayyidah Nafisah bermimpi bertemu Nabi Saw. Baginda berpesan, “Wahai Hasan.. Nikahkanlah puterimu Nafisah dengan Ishaq Al-Mu’taman!”

Keesokan harinya, ia panggil Ishaq lalu segera menikahkannya dengan puteri kinasihnya. Ishaq Al-Mu’taman menikahi Sayyidah Nafisah yang merupakan anak pamannya (sepupu) pada tahun 161 H. Bertemulah 2 jalur anak-cucu Husaini & Husaini ke sekian kalinya, adapun pertemuan yang pertama-kali Hasani-Husaini insyallah pada tulisan mendatang: Sayyidah Fatimah Al-Nabawiyyah yang makamnya juga terdapat di Kairo, Mesir.

Setelah menikah dengan Ishaq Al-Mu’taman, Sayyidah Nafisah dikaruniai 2 anak: Al-Qasim & Ummu Kultsum.

DIMENSI SPIRITUAL & IBADAH
Selain dikenal berilmu dan cerdas serta fasih bersyair, Sayyidah Nafisah juga masyhur dengan ibadah dan laku-tirakatnya. Beliau disebut berhaji sebanyak 30 kali. Dari sebanyak itu pada galibnya, beliau menunaikannya dengan berjalan-kaki, tanpa berkendara. Dalam beberapa sumber, tercatat redaksi doa beliau saat tawaf dan bersimpuh pada tepi dinding kakbah. Beliau berdoa seraya bercucuran air-mata, “Wahai Tuhanku.. Engkau telah memberiku kenikmatan, membuatku bahagia dengan ridha-Mu padaku. Atas itu pula, janganlah Engkau memberikan suatu sebab yang menjadi hijab (menghalangi) pada diriku atas hadirat-Mu.”

Penuturan lain tentang Sayyidah Nafisah juga terekam dalam beberapa catatan. Salah satunya penuturan Zainab binti Yahya Al-Mutawwaj ialah keponakannya, anak dari saudara Sayyidah Nafisah. Zainab bertutur, “Saya berkhidmah, mengabdi pada bibi saya Sayyidah Nafisah selama 40 tahun. Selama itu pula saya tak pernah melihatnya tidur malam (untuk salat malam), juga makan siang (untuk puasa) kecuali 2 hari raya dan hari-hari tasyrik.

Saya pernah berkata pada Sayyidah Nafisah, ‘Apa tidak lebih baik berlembut-hati (bersantai) saja dengan dirimu itu?’ Ia menjawab (secara retoris), ‘Bagaimana saya bisa bersantai sedangkan di depan saya terdapat banyak jalan menjulang-tinggi yang tidak akan dipatahkan kecuali oleh orang-orang yang berjaya?”

Sayyidah Nafisah juga dikenal kerap mendaras Alquran dan tafsirnya, juga membacakan hadis (Kisah khususnya di bagian Sayyidah Nafisah dan Imam Syafii).

Suatu hari, beliau menangis dalam doanya, “Ya Tuhanku, mudahkanlah bagiku jalan untuk berziarah ke kubur kekasih & nabi-Mu Ibrahim as.” (di kota yang dinamai dengan namanya Al-Khalil, Palestina atau juga dikenal dengan Hebron)

Setelah haji terakhir, Sayyidah Nafisah bersama suami memulai perjalanan menuju kota Al-Khalil sekitar 35 km. ke arah Barat Daya dari Alquds, berziarah ke makam Al-Khalil Ibrahim as. Sesampai di sana, mereka berkeinginan untuk meneruskan perjalanan ke Mesir.

HARI-HARI DI MESIR
Kabar kedatangan Sayyidah Nafisah tersebar luas bahkan sebelum kafilah sampai di pusat kota. Jauh di ujung Utara semenanjung Sinai sana, sejak di kota ‘Arisy kafilah Sayyidah Nafisah dan suami sudah disambut oleh berbagai elemen masyarakat. Dari masyarakat awam sampai pedagang serta penguasa ikut menyambut.

Sambutan yang sudah dimulai sejak kota ‘Arisy itu konon karena saking meriahnya merupa iring-iringan ramai hingga Kairo. Al-Sakhawi dan Ibnu Utsman mencatat ada seorang pembesar para saudagar bernama Jamaluddin Abdullah bin Al-Jassas yang menjadi tuan-rumah saat pertama kalinya kafilah sampai di Bumi Kinanah.

Sayyidah Nafisah menuju Mesir pada tahun 193 H. Lebih dulu dari Imam Syafii kira-kira 6 tahun karena terdapat 2 riwayat tentang kedatangan Sang Imam ke Mesir. Yakni antara 199 H. dan 200 H. Jika kedua riwayat itu dipertemukan, menurut Syekh Duktur KH. Ahmad Nahrawi Abdussalam dalam Imam Syafii: fi Mazhabihi Al-Qadim wa Al-Jadid bisa jadi akhir 199 H. dan sampai pada awal 200 H.

Pada intinya, jika kita membaca riwayat-hidup Sayyidah Nafisah & Imam Syafii, akan kita temukan banyak kedekatan selain karena sezaman. Seperti sama-sama tumbuh di kota Madinah meski Sang Imam lahir di Gaza, Palestina; sama-sama belajar Alquran dan lain hal di Masjid Nabawi; sama-sama ke Mesir meski Sang Imam setelahnya beberapa tahun. Sederet kedekatan itu pula yang berpengaruh terhadap penghormatan Imam Syafii ke Sayyidah Nafisah hingga tiap kali berangkat dari kediaman (kini menjadi masjid Imam Syafii) menuju Masjid Amr bin Ash untuk mengisi daras, juga saat kembali Sang Imam selalu menyempatkan berkunjung ke kediaman Sayyidah yang kini menjadi makam. Demikian seperti disampaikan guru kami Syekh Yusri Rusydi Gabr dalam suatu khutbah Jumat.

SAYYIDAH & SANG IMAM
Dalam beberapa kitab tarajim disebutkan, Imam Syafii memiliki kedekatan khusus dengan Sayyidah Nafisah. Meskipun Sang Imam adalah orang yang terpandang dan siapa tah yang tak kenal kefakihannya, beliau selalu berusaha berkunjung dan menjadi imam salat tarawih saat Ramadan di musala Sayyidah Nafisah yang kini di area masjid.

Al-Muwaffaq bin Utsman dalam Mursyid Al-Zuwwar menukil sahib kitab Al-Musyriq fi Tarikh Al-Masyriq bahwa Imam Syafii mengambil hadis (sama’) dari Sayyidah Nafisah. Juga sering berkunjung dan meminta doa. Di sumber lain, Sang Imam bukan dengan sama’ (guru membaca, murid menyimak) dalam mengambil hadis, melainkan membacakannya (qara’ alaiha) di hadapan Sayyidah. Sang Imam dan murid-muridnya disebutkan begitu sangat menjaga adab jika berkunjung ke Sayyidah Nafisah.

Di hari-hari akhir Imam Syafii, tiap kali terserang sakit beliau tak lepas dari meminta doa Sayyidah Nafisah. Kalaupun badan tak sanggup berkunjung, ia akan menitip salam & doanya itu melalui murid-muridnya seperti Rabi’ Aljizi, Rabi’ Al-Muradi, dan lainnya yang mewakili. Dalam hal bertutur biasanya Sang Imam menggunakan redaksi kalimat, “Anak pamanmu ini sakit, sekiranya engkau (Sayyidah Nafisah) bersedia mendoakan.”

Kecintaan Imam Syafii pada ahlubait Nabi memang tak pernah padam. Terekam dalam syair yang, menurut Syekh Yahya Al-Kattani dalam serial Qanat Al-Nas, juga berkait dengan kaifiat salat dalam mazhab Syafiiyah yang menyertakan selawat kepada ahlulbait dalam tasyahud akhir:
يا آلَ بَيتِ رَسولِ اللَهِ حُبَّكُمُ # فَرضٌ مِنَ اللَهِ في القُرآنِ أَنزَلَهُ
يَكفيكُمُ مِن عَظيمِ الفَخرِ أَنَّكُمُ # مَن لَم يُصَلِّ عَلَيكُم لا صَلاةَ لَهُ
“Wahai Ahlubait Rasulillah! Mencintaimu adalah keharusan dari Allah dan tertuang dalam Alquran yang Dia turunkan”
“Ialah sanjungan yang kafi bagimu, bahwa barangsiapa yang tak memanjatkan selawat ke atasmu, maka tak ada yang sah dari salatnya”

Bahkan terdapat pula syair yang menegaskan sekaligus menjawab tuduhan atas Sang Imam. Sang Imam pun ternyata pernah dituduh sebagai bagian dari rafidi (syiah):
كان رفضًا حب آل محمد # فليشهد الثقلان أنّي رافضي
"Jika hanya mencintai keluarga Muhammad tergolong rafidi, dengan disaksikan seisi manusia & jin maka sungguh saya (mengakui) seorang rafidi.”

Jika sekaliber Imam Syafii saja dilempar tuduhan demikian, maka tak heran jika sampai sekarang masih bertebaran hal demikian. Institusi Al-Azhar itu benteng ahlusunnah & kiblat ilmu, dan di sini pula kami para talib diajarkan & dicontohkan betapa para masyayikh (guru) mencintai ahlulbait.

Kembali ke kisah Sayyidah & Sang Imam. Suatu hari, tatkala seorang muridnya menghaturkan salam serta permohonan doa, ada hal yang berbeda dari biasanya. Sayyidah Nafisah menjawab, “Semoga Allah berikan nikmat pada Syafii dengan pandangan ke hadirat-Nya yang Mulia.”

Setelah mendengar jawaban itu dari murid utusannya, Sang Imam menyadari isyarat tersebut bahwa hidupnya di dunia takkan lama. Ia segera berwasiat. Salah satunya berbunyi agar jasadnya juga disalatkan oleh Sayyidah Nafisah.

Di hari wafat Sang Imam itu, Sayyidah Nafisah juga sudah sakit-sakitan hingga akhirnya, atas koordinasi penguasa saat itu, jenazah Imam Syafii dibawa ke kediaman Sayyidah Nafisah yang kini menjadi kompleks masjid dan makam itu. Di sana, Sayyidah Nafisah salat jenazah dengan Abu Ya’qub Al-Buwaiti sebagai imam.

Di hari itu pula, Sayyidah Nafisah bersaksi atas kebaikan Sang Imam dengan persaksian yang masyhur, “Semoga Allah merahmatinya. Sungguh Imam Syafii semasa hidup adalah orang yang paripurna dalam berwudhu.” Wudhu di sini menurut sebagian masyayikh mempunyai makna batin yakni baik dalam bebersih urusan hati, dimaknai dengan kacamata tasawuf. Tentu selain itu maknanya jika wudhunya sudah paripurna, maka purna pula selebihnya, karena ia adalah pondasi. Ada juga Syekh Muhammad Zaki Ibrahim dalam Maraqid Ahlil Bayt fil Qahirah yang berkesimpulan bahwa dari persaksian itu menunjukkan Sayyidah Nafisah memang juga seorang berilmu & ahli-fikih.

TETANGGA BERAGAMA YAHUDI
Keramat atau Karamah Sayyidah Nafisah sangatlah banyak. Selain itu, banyak dari kejadian-kejadian itu yang disaksikan pula oleh khalayak. Salah satu yang paling masyhur dan disebut juga di beberapa sumber-pustaka adalah kisahnya bersama tetangga Yahudi.

Alkisah, saat tinggal di Mesir ini Sayyidah Nafisah bertetangga dengan pemeluk Yahudi. Saat itu seorang ibu Yahudi dan anak perempuannya yang lumpuh hendak ke pemandian-umum. Ibunya menawarkan pada anaknya untuk ikut atau di rumah saja.

Anak perempuan yang lumpuh tersebut meminta ibunya supaya dititipkan saja ke tetangga, yakni Sayyidah Nafisah. Saat dititipkan itu, begitu Sayyidah Nafisah berwudu anak-perempuan itu ditaruh. Saat Sayyidah Nafisah salat, anak itu menggunakan air sisa wudu tadi untuk bersih-bersih, untuk membasuh anggota tubuhnya.

Begitu mendengar ibunya telah kembali dari hammam (pemandian-umum), anak itu lari kembali ke rumahnya. Saat mengetuk pintu itu ibunya tak mengira, “Siapa di luar?” Ternyata anak-perempuannya yang tadinya lumpuh kini sudah seperti orang normal. Tak menyisakan sisa-sisa seperti orang sakit lumpuh.

Ibunya menangis tersedu sedan. Ibu macam apa yang tak menangis melihat buah hati yang tadinya lumpuh kini normal? Ia menuju Sayyidah Nafisah dan menyatakan bahwa Islam inilah agama yang hak bagi dia sekarang. Lalu, ia mencium kaki Sayyidah Nafisah sebagai wujud rasa terima-kasih dan menarik tangan Sayyidah Nafisah, memintanya membimbing dalam memeluk agama Islam.

Sepulang mereka, sekeluarga Yahudi itu pun heboh dan penasaran dengan kisahnya. Aapalagi ayahnya yang bernama Ayyub, seorang yang dikenal sabar dan juga termasuk tokoh pembesar Yahudi di Mesir. Begitu mendengar kisah itu, ia menuju kediaman Sayyidah Nafisah memandang langit dan menyerukan keesaan & keagungan Allah Swt., lalu menempelkan kedua-pipinya ke dasar-pintu serta berseru memohon bimbingan dan syafaat Sayyidah Nafisah. Lebih dari 70 orang Yahudi yang tinggal di kompleks itu memeluk Islam atas kejadian itu.

Karamah lainnya diceritakan keponakannya Zainab binti Yahya Al-Mutawwaj (wafat 240 H.). Dialognya bersama Al-Qudo’i dinukil dalam Mursyid Al-Zuwwar.

Al-Qudo’i bertanya pada Zainab, “Apa makanan pokok bibimu dulu?”
“Ia dulu makan sekali setiap 3 hari. Ia dulu punya keranjang yang digantung di depan musalanya. Tiap kali ia ingin makan sesuatu, ia temukan sesuatu itu di dalam keranjang tersebut. Dulu, ia tidak makan apapun selain dari nafkah suaminya.”

Jika dituliskan semuanya, niscaya penuh cerita kali ini dengan karamah Sayyidah Nafisah. Terlebih jika mengikutkan pengalaman para guru, khalayak Mesir, dan kawan-kawan yang doanya mustajab saat berziarah ke makam beliau.

NIATAN KELUAR MESIR
Dalam hidup Sayyidah Nafisah, tercatat suaminya pernah berniat membawanya keluar Mesir untuk kembali ke Tanah Hijaz. Hal itu karena masyarakat Mesir begitu ramai datang, dari yang sekedar ingin berjumpa, berkonsultasi, hingga meminta doa. Itu yang membuat Ishaq Al-Mu’taman merasa jalan-keluarnya adalah keluar Mesir.

Tetapi, Sayyidah Nafisah mengatakan padanya, "Saya tidak mampu (meninggalkan Mesir). Karena saya bertemu Rasulullah Saw. dalam mimpi dan berpesan pada saya, ‘Jangan pergi dari Mesir! Allah Swt. menggariskanmu wafat di negeri ini."

Bahkan kelak pasca wafat, Ishaq Al-Mu’taman berniat membawa jenazah Sayyidah Nafisah ke Madinah untuk dimakamkan di Baqi’. Ramai masyarakat Mesir berkumpul dan menyuarakan agar Sayyidah dimakamkan di Mesir saja. Bahkah khalayak ramai membawa penguasa saat itu untuk melakukan lobi-lobi supaya tercapai kesepakatan itu. Ishaq sudah bulat tekad.

Tapi, sekonyong-sekonyong saat orang-orang sudah kehilangan harapan karena Ishaq begitu siap berangkat, ia memutuskan memakamkan Sayyidah Nafisah di Mesir. Di kediaman Sayyidah Nafisah sendiri. Di liang yang ia gali sendiri semasa hidup, juga ia khatamkan Alquran 2000 kali, atau 1900 kali (dalam riwayat lain) di bakal kuburnya itu. Siang-malam ia gunakan untuk salat.

HARI-HARI AKHIR
Sayyidah Nafisah adalah ahlulbait yang cintanya merebut-hati masyarakat Mesir dari semasa hidupnya hingga detik ini juga. Mungkin juga sebab dipelopori oleh Imam Syafii, sampai saat ini berbagai elemen masyarakat Mesir berwasiat untuk disalatkan di masjid Sayyidah Nafisah. Maka tak heran, jika kita sedang berziarah di hari apapun galibnya akan kita temukan bahkan satu salat-jenazah bisa 3 jasad atau lebih yang memang dibawa oleh keluarganya ke hadirat Sayyidah Nafisah. Entah politisi, kadi, perwira, pedagang, musisi, dari pesohor-selebriti sampai masyarakat awam.

Sayyidah Zainab binti Yahya Al-Mutawwaj mengisahkan,”Bibi saya mulai sakit pada awal bulan Rajab. Saya juga sudah berkirim surat pada suaminya yang saat itu bepergian ke Madinah.

Sakit yang sangat parah terjadi di Jumat pertama bulan Ramadan. Dokter-dokter yang andal semuanya menyerukan supaya Sayyidah Nafisah berhenti berpuasa supaya energinya bertambah.

Bibi saya menjawab, “Luar biasa sekali! Sudah berjalan 30 tahun saya berdoa agar Allah Swt. mengakhiri nyawa saya dalam keadaan saya sedang berpuasa! Lalu sekarang saya membatalkannya begitu saja?”, Sayyidah Nafisah menolak dan mendendangkan seikat syair agar para tabib segera pulang, 2 bait dia antaranya:
اصرفوا عني طبيبي # ودعوني وحبيبي
زاد بي شوقي إليه # وغرامي في لهيبي
“Kalian antarkanlah pergi dokter saya itu, biarkan saya bersama Sang Kekasih.”
“Rindu pada-Nya ini semakin bertambah, api-cinta ini pun sudah berkobar.”

Sayyidah Nafisah wafat pada bulan Ramadan tahun 208 H. Sayyidah Nafisah mengakhiri hidupnya dengan membaca surat Al-An’am hingga terhenti setelah membaca pada ayat 127:
لَهُمْ دَارُ السَّلَامِ عِنْدَ رَبِّهِمْ ۖ وَهُوَ وَلِيُّهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Bagi orang-orang yang merenung dan menangkap pesan itu disediakan tempat aman, yaitu surga. Mereka berada di dalam kekuasaan, kecintaan dan pertolongan Allah, oleh sebab kebaikan yang mereka perbuat di dunia.” (terjemah ayat: Syekh Quraish Shihab)

Zainab binti Al-Mutawwaj keponakannya yang berkhidmah itu kemudian menempelkan kepala Sayyidah Nafisah ke dirinya, “Lalu ia bersaksi, mengucap syahadat. Ia wafat pada tahun 208 H. Itu terjadi 4 tahun setelah mangkatnya Imam Syafii.”

Makam Sayyidah Nafisah selalu ramai peziarah. Lilin-lilin dinyalakan di malam-malam setelah itu. Ramai orang datang ingin ikut menyalatkan bahkan sampai sudah lewat dari hari pemakaman. Dengan lantaran ini pula yang menjadikan makam Sayyidah Nafisah adalah makam ahlulbait di luar area Qarafah yang keberadaannya tidak dipertentangkan oleh para sejarawan, tidak ada perbedaan pendapat mengenai lokasinya.

Dalam beberapa sumber pustaka disebutkan sederet nama-nama ulama yang pernah berziarah ke makam Sayyidah Nafisah. Mulai dari murid-murid Imam Syafii seperti Imam Abu Ya’qub Al-Buwaiti, Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi, Ismail Al-Muzani, Abu Jakfar Al-Tahawi hingga Dzunnun Al-Misri, Imam Warasy (muqri’). Banyak sekali nama-nama fukaha dan ulama yang berziarah.

Semoga kita semua bisa berkesempatan meneladani kegigihan Sayyidah Nafisah dalam beribadah dan kebaikannya pada sesama hingga menjadi orang yang beilmu dan berbudi perkerti. Semoga kita diberi kesempatan berziarah. Lagi dan lagi bagi yang sudah, suatu hari bagi yang belum. Serta mendapati hajat kita terkabul dan mendapat syafaat Sang Kakek, Baginda Rasul dengan lantarannya. Amin.

===============

Karakush, Al-Gamaleya, Kairo
Senin, 9 September 2019 M. | 10 Muharram 1441 H.
Penulis: Mu’hid Rahman

===============

Sumber pustaka:
* مُرشد الزوّار إلى قبور الأبرار؛ تأليف موفّق الدين بن عثمان؛ طبعة الدار المصرية اللبنانية
* الكواكب السيّارة في ترتيب الزيارة في القرافتين الكبرى والصغرى؛ تأليف شمس الدين محمد ابن الزيات؛ المطبعة الأميرية بمصر
* تحفة الأحباب وبغية الطلاب فى الخطط والمزارات والتراجم والبقاع المباركات؛ تأليف نور الدين علي السخاوي؛ م. العلوم والأدب بالقاهرة
* مساجد مصر وأولياؤها الصالحون؛ تأليف الدكتورة سعاد ماهر؛ ط. الهيئة العامة لقصور الثقافة
* مراقد أهل البيت في القاهرة؛ الإمام الرائد الشيخ محمد زكي ابراهيم؛ ط. العشيرة المحمدية
* الإمام الشافعي في مذهبيه القديم والجديد؛ الدكتور الكياهي أحمد نحراوي عبد السلام الإندونيسي؛ مكتبة الشباب بالقاهرة.